Analisis Kritis Terhadap UN-EGDI Survey Estonia





Munculnya peradaban digital telah membuat hampir seluruh aspek kehidupan terkait dengan elektronik atau digital, baik langsung maupun tidak langsung. Kehidupan publik menjadi serba terdigitalisasi. Hal inilah yang kemudian disebut dengan disrupsi digital (digital disruption). 
 

Dunia industri juga tidak terlepas dari disrupsi digital. Hampir tidak ada industri yang ada sekarang yang tidak terkena digitalisasi. Kehidupan industri manusia sehari-hari pada zaman purba yang masih sangat terbelakang dan bersifat manual telah berubah secara sangat mendasar atau revolusioner ketika muncul Revolusi Industri Pertama (First Industrial Revolution) atau kerap disebut dengan Industry 1.0. 

 

Munculnya Industry 1.0 pada paruh kedua abad ke-18 bertumpu pada mekanisasi (mechanization), tenaga mesin uap (steam power), dan mesin tenun (weaving loom). Industry 1.0 kemudian diganti oleh Revolusi Industri Kedua (Second Industrial Revolution) atau Industry 2.0 yang dimulai pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 yang mengandalkan produksi massal (mass production), pabrik perakitan (assembly line), dan energi listrik (electrical energy). Revolusi Industri Ketiga (Third Industrial Revolution) atau Industry 3.0 lalu menggusur Industry 2.0. Industry 3.0 pada pertengahan abad ke-20 mengedepankan otomatisasi (automation), perangkat komputer (computers), dan peralatan elektronik (electronics). 

 

Terakhir, pada peralihan abad ke-21, muncul Revolusi Industri Keempat (Fourth Industrial Revolution) atau Industry 4.0. Pada saat ini kita sejatinya telah mengarungi industri digital, di mana industri mempraktikkan sistem fisik siber (cyber physical systems), segala sesuatu terhubung dengan internet (Internet of Things/IoT), serta informasi dan komunikasi dalam jaringan (networks). 

 

Perkembangan pesat teknologi informasi dan komunikasi lewat kemajuan internet dalam Industry 4.0 pada gilirannya merambah dunia pemerintahan negara-negara dunia. Pada tataran negara, Pemerintah harus terbuka terhadap disrupsi digital yang terus mengglobal. Disrupsi tersebut membutuhkan perangkat-perangkat baru guna menghadapi dinamika dalam negeri dan tantangan hubungan internasional yang semakin kompetitif, cepat, dan keras. 

 

Kemudian muncul pemerintahan yang dikelola secara digital atau elektronik atau electronic government yang kerap disingkat dengan e-Government dan belakangan muncul konsep e-Governance. Pemerintahan digital atau elektronik yang kerap disebut sebagai “e-Gov” sesungguhnya merupakan keharusan mutakhir. Seiring berkembangnya E-Government juga diikuti terbentuknya United Nations Electronic Government Development Index (UN-EGDI). 


United Nations Electronic Government Development Index (EGDI) adalah indeks komposit yang mengukur kesediaan dan kemampuan pemerintah nasional untuk menggunakan teknologi informasi dan  komunikasi untuk menyediakan layanan publik. Ini didasarkan pada survei komprehensif tentang kemunculan Internet di 193 negara anggota, menilai spesifikasi situs web nasional serta kebijakan  dan strategi e-government yang diadopsi, digunakan secara umum dan berdasarkan sektor untuk menyediakan layanan penting.  


EGDI tidak dirancang untuk menangkap pertumbuhan e-Government secara keseluruhan; sebaliknya, ini bertujuan untuk membandingkan kinerja pemerintah nasional  satu sama lain.  EGDI menyajikan situasi pengembangan e-government di negara-negara anggota PBB. Selain menilai pola pengembangan  web  suatu negara, EGDI menggabungkan karakteristik akses, seperti infrastruktur dan tingkat pendidikan, untuk mencerminkan bagaimana suatu negara menggunakan teknologi informasi untuk mempromosikan akses dan inklusi penduduknya.


EGDI adalah ukuran gabungan dari tiga aspek penting dari e-government, yaitu: penyampaian layanan online, konektivitas telekomunikasi, dan sumber daya manusia. EGDI didasarkan pada survei komprehensif tentang kehadiran online dari 193 Negara Anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa,  menilai situs web nasional dan bagaimana kebijakan dan strategi e-government diimplementasikan, kinerja keseluruhan dan di area tertentu untuk menyediakan layanan penting. Penilaian tersebut menilai kinerja e-government negara-negara relatif satu sama lain dibandingkan dengan pengukuran absolut. Hasilnya ditabulasi dan digabungkan dengan seperangkat indikator yang mewakili kemampuan suatu negara untuk berpartisipasi dalam masyarakat informasi yang seharusnya dapat digunakan dengan upaya pengembangan e-government yang terbatas.  


Sementara model dasar tetap konsisten, makna yang tepat dari nilai-nilai ini berubah dari edisi ke edisi Survei sebagai pemahaman tentang potensi perubahan dalam e-government dan pengembangan dasar-dasar teknologi. Ini adalah perbedaan penting karena juga menyiratkan bahwa ini adalah kerangka kerja komparatif yang berupaya memasukkan pendekatan berbeda yang cenderung berkembang dari waktu ke waktu daripada mendukung jalur linier dengan tujuan absolut.  


Secara matematis, EGDI adalah rata-rata dari tiga nilai yang dinormalisasi di seluruh aspek terpenting e-government, yaitu: cakupan dan kualitas layanan online, perkembangan status  infrastruktur telekomunikasi, dan sumber daya manusia yang melekat. Masing-masing set ini sendiri merupakan indeks dari mana langkah-langkah gabungan  dapat diekstraksi dan dianalisis secara independen. 

 

Estonia menjadi contoh terbaik dalam menggunakan kemajuan teknologi internet dan digitalisasi ke arah positif yang dapat mempermudah segala aspek dalam kehidupan manusia. Negara ini juga menjadi contoh terbaik bahwa segala urusan pemerintahan dapat dibangun sepenuhnya melalui online, tanpa ada batasan geografi dan demografi.


Estonia berhasil menghemat anggaran sebesar $200 ribu untuk urusan dokumen pemerintahan. Mereka meninggalkan kertas dan beralih sepenuhnya ke digital, seperti yang telah diterapkan dalam pemilihan umum. Hal ini baru pertama kali dilakukan, sebuah negara yang mengadakan pemilu 100% online sejak tahun 2007. Bahkan untuk menunjukkan kemajuannya di dunia digital, penulisan di e-mail atau e-commerce ditulis menjadi E-stonia. Sampai-sampai disebut ‘e-state’ atau negara elektronik Estonia.



Indeks pembangunan manusia (IPM) Estonia dari tahun 1990 hingga 2019 menunjukkan bahwa skor IPM Estonia turun sedikit dari 0,730 pada tahun 1990 menjadi 0,724 pada tahun 1995, tetapi tumbuh setelah titik ini, mencapai skor puncak 0,892 pada tahun 2019.IPM itu sendiri adalah statistik yang menggabungkan harapan hidup, tingkat pendidikan dan PDB per kapita. Negara-negara dengan skor lebih dari 0,800 dianggap memiliki tingkat perkembangan manusia yang sangat tinggi, dibandingkan dengan negara-negara yang mendapat skor lebih rendah.

Negara ini juga merupakan surga bagi startup. Mengutip laporan Startup Estonia, pendanaan bagi startup-startup Estonia terus merangkak naik tiap tahun. Hingga setengah tahun berjalan, pendanaan pada 2018 telah mencapai €245,7 juta. Ini melebihi setengah jumlah pendanaan yang diterima tahun lalu hanya €272,2 juta. Pada 2016, dunia startup Estonia memperoleh kucuran dana senilai €105,7 juta.

Estonia kini jadi rumah bagi 200-an startup, tercatat ada empat startup berstatus unicorn di negara yang hanya dihuni 1,3 juta penduduk ini. Keempat startup tersebut adalah Skype, Playtech, TransferWise, dan Taxify. Playtech merupakan platform game online berkonsep business-to-business. Ada TransferWise merupakan aplikasi yang memungkinkan pengguna mentransfer sejumlah dana tanpa fee alias biaya administrasi. Juga ada Taxify yang merupakan platform serupa Uber sebagau ride-sharing. Taxify mendapat suntikan dana dari Daimler, raksasa otomotif Jerman dan Didi Chuxing dari Cina. 

Kombinasi jumlah penduduk yang sedikit dan empat startup unicorn membuat negeri itu mendaulatkan diri sebagai “most unicorns per capita in the world”. Estonia memiliki 0,308 startup unicorn di tiap 100.000 penduduk, paling tinggi di antara negara manapun di dunia. 

Amerika Serikat (AS), yang dianggap sebagai pusat teknologi dunia, pun tidak bisa menandingi Estonia soal ini. Paman Sam memang punya 105 startup berstatus unicorn. Dengan jumlah penduduk AS 325,7 juta jiwa, AS punya proporsi 0,032 startup unicorn di tiap 100.000 penduduk. Cina yang punya 98 startup berstatus unicorn, hanya punya 0,007 startup unicorn di tiap 100.000 penduduk.

Bagaimana dengan Indonesia yang sama-sama punya empat startup unicorn yaitu Go-Jek, Tokopedia, Traveloka, dan Bukalapak? Konsekuensi jumlah penduduk Indonesia berkali-kali lipat lebih banyak dibandingkan Estonia, Indonesia hanya memiliki proporsi 0,006 startup unicorn di tiap 100.000 penduduk. Namun, pertanyaan mendasar adalah, kenapa iklim berbisnis di Estonia membuat subur startup?

Estonia lebih fokus membangun negara digital dengan sistem yang efektif dan efisien. Negara ini salah satu pengguna internet paling awal. Terbukti sejak tahun 2002 semua wilayah di Estonia sudah memiliki jaringan internet. Bahkan sejak tahun 1997, hampir semua sekolah di Estonia telah dilengkapi jaringan internet. Kurikulum progamming dan coding juga wajib dari usia TK. Anak-anak sedari dini diperkenalkan dengan teknologi.

Dalam sistem pemerintahan pun semua sudah dilakukan online, paperless, dan digital. Dari mulai bayar pajak, perpanjangan paspor, daftar nikah, dan segala dokumen resmi diurus via online. Setiap warga negara Estonia memiliki kartu penduduk yang super canggih dan telah terintegrasi di awal tahun 2000-an. Semua dokumen dan identitas diri telah terintegrasi dalam kartu super canggih ini. Tiap warga juga memiliki tanda tangan elektronik. Warga pun rela membayar pajak lebih tinggi yang dialokasikan untuk transportasi umum gratis.

Investasi keamanan terbesar di Estonia yaitu untuk perlindungan cyber. Dikarenakan semua telah dilakukan secara online, tentu keamanan data-data pribadi warga menjadi prioritas utama. Keberhasilan membangun negara digital inilah yang memberikan peluang tak terbatas bagi Estonia. Salah satunya dalam kebijakan e-residency, semua orang dapat melamar dan diterima menjadi penduduk Estonia. Ini memungkinkan terjadi karena semua dapat diurus online, jadi semua orang bisa menjadi penduduk e-state Estonia.

The World Economic Forum menempatkan Estonia di peringkat ke-16 dari 124 negara pada indeks yang mengukur seberapa baik negara-negara memelihara, mengembangkan, dan mengerahkan rakyatnya, dengan fokus pada pendidikan, keterampilan, dan pekerjaan.










Estonia meraih peringkat 3 EGDI, dan peringkat 1 E-Participation Index pada tahun 2020 lalu. Peringkat EGDI Estonia naik pesat setelah pada tahun 2018 mengalami penurunan dengan meraih peringkat 16 dari peringkat 15 pada 2016. Begitupun peringkat EPI Estonia yang juga mengalami kenaikan setelah pada 2018 lalu berada di peringkat 27, menurun dari peringkat 22 pada tahun 2016. Estonia berhasil naik menjadi peringkat 1 pada tahun 2020.


Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mempredikatkan negara-negara yang mendapatkan poin lebih dari 0.75 sebagai Very High EGDI, untuk poin 0.50 sampai 0.75 sebagai High EGDI, poin 0.25 sampai 0.50 sebagai Middle EGDI, dan kurang dari 0.25 sebagai Low EGDI. 


Hasil peringkat ini dapat mendorong masing-masing negara untuk lebih meningkatkan implementasi e-Government. Hal ini tentunya menjadikan bagi tantangan setiap negara untuk dapat lebih meningkatkan kompetensi di bidang Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) serta infrastruktur TIK. 

Comments

Popular Posts